Kenapa Mengambil Keputusan Yang Lebih Sulit dan Berisiko
- Hasna Hanifa
- 20 Okt
- 7 menit membaca
Do you ever imagine bahwa di kehidupan ini we're the chosen one? Kita semua terpilih untuk membawa mimpi, misi, dan tujuan masing-masing, mungkin itu tertanam di hati kita, pikiran kita, dan diri kita.
We’re the chosen one, then take it.
Kali ini sebelum berbagi tentang keputusan-keputusan hidup yang aku ambil, aku ingin bercerita dan membagikan pandangan, pendapat, dan juga hasil dari bacaan yang aku baca, yang aku dengar, dan juga aku pahami.
Sebagai pembuka, sedikit review pembahasan awal akan ada soal permasalahan-permasalahan dan tantangan yang dihadapi di Indonesia dan Southeast Asia mengenai climate change dan environmental issues seperti plastic pollution, dan juga tantangan Indonesia sebagai negara maritim, diikuti dengan pembahasan ekosistem startup, peran perempuan, sampai dengan pemilihan keputusan memilih pasangan for a lifetime.
Pembahasannya akan cenderung lebih kaku ketika dibaca dengan campuran dari real insights dan juga refleksi.
Tulisan ini juga akan aku tinggalkan untuk sampai beberapa tahun ke depan, supaya menjadi archive perjalananku, dan kalau suatu hari nanti ada yang mencari the reason why I started all of these bisa menemukan tulisan ini, dan tulisan ini juga untuk diriku sendiri di masa depan.
Kondisi Ekosistem Startup Indonesia dan Trust Investor
Ditengah kondisi Indonesia yang kurang stabil, terkhusus untuk ekosistem startup sekarang di Indonesia, trust investor sekarang menurun salah satunya karena alasan kasus beberapa startup di Indonesia sebelumnya yang cukup membuat prihatin sebagian dari kita.
Bicara soal inovasi cimate tech di Indonesia juga tidak sekuat dan seambisius di negara-negara Eropa. Ekosistem mereka kuat, sehat, mereka pun juga lebih mendapatkan support secara funding untuk inovasi-inovasi.
Mungkin tidak terlalu apple to apple melakukan benchmarking antara negara-negara di Eropa dan Indonesia sebagai negara di Southeast Asia. Tetapi kita bisa merasakan perbedaan kebijakan yang dibuat Eropa, ekosistem yang mendukung, dan langkah aktif yang telah mereka lakukan untuk melihat sejauh mana progress kita menghadapi tantangan ini.
Eropa melakukan langkah ambisius, karena Eropa juga merasakan secara langsung dampak dari climate change di negara-negara mereka. Namun bagaimana dengan Indonesia sebagai negara tropis, negara dengan wilayah yang juga masuk di khatulistiwa, negara dengan coral triangle yang terkenal, negara maritim, negara yang punya banyak sumber daya alam, dan masih banyak lagi.
Tetapi kenapa kita belum mengambil langkah ambisius ini?
Hal ini juga dibahas oleh pak Gita Wirjawan dalam buku beliau “What It Takes: Southeast Asia — From Periphery to Core Global Consciousness” dengan topik pembahasan “The Paradox of Sustainability”.
Tetapi yang pasti ini menjadi tantangan besar bagi negara berkembang seperti Indonesia.
(Capture a few takeaways from the book)
Awal Realisasi
Climate change juga bukan topik dan isu yang baru-baru saja diangkat, tetapi untuk di Indonesia aku mulai melihat pembahasan ini dibuat semakin terbuka dari summit seperti Indonesia Net Zero Summit dari FPCI (Foreign Policy Community on Indonesia), ini adalah langkah yang aku rasa sungguh membawa pergerakan yang bagus, merasa perlu berterimakasih kepada pak Dino Patti Djalal dan semua jajaran FPCI yang membawa topik pembahasan ini menjadi pembahasan yang accessible dan meningkatkan awareness dan tahun lalu, aku adalah salah satu peserta summit ini. Dan dari hari itu mengubah segalanya, termasuk sudut pandang dan keputusanku.
Indonesia dengan kecantikan lautnya
Indonesia sebagai negara maritim yang menjadi salah satu negara dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada. Indonesia juga terkenal dengan coral triangle, teman-temanku di Brazil, Filipina sangat tau dan excited dengan Bali as well known place yang terkadang mereka bingung kalau Bali teryata adalah bagian dari Indonesia.
Tetapi dari data-data dan berita yang aku baca, Bali sekarang juga menghadapi tantangan seperti over tourism, mulai ada sampah seperti sampah plastik yang terlihat di laut yang kemungkinan besar sampah plastik memang datangnya dari daratan. Diperkuat dengan data bahwa sampah yang masuk laut paling besar persentasenya justru datang dari daratan.
Tantangan di Indonesia dan beberapa negara di Southeast Asia
Mismanaged waste management di Indonesia dan beberapa negara di Asia Tenggara menjadi concern yang perlu kita ambil secara serius. Terkhusus di Indonesia yang menghadapi tantangan lack of system dalam pengelolaan sampahnya. Sudah banyak inisiatif dari komunitas, NGO, dan startup yang berfokus untuk mendukung penyelesain masalah dan tantangan ini, tetapi masih belum cukup, maka dari itu misi ini masih terus berlanjut.
Plastik yang masuk ke laut pun lama-lama akan tergradasi menjadi microplastics, yang dimana bisa dimakan seperti ikan dan hewan-hewan laut lain yang sebenarnya sehari-hari juga kita makan sebagai seafoods. Ini juga menjadi masalah serius karena mengkonsumsi microplastics walaupun kecil, tetapi semakin banyak jumlahnya akan semakin besar dan secara aspek kesehatan untuk jangka panjang tentu ini tidak baik untuk kita.
Kembali soal climate change, bertempat tinggal di urban city dan metropolitan membuatku merasa panas semakin terasa, terkhusus di bulan ini. Merasakan perubahan yang sangat drastis terhadap cuaca dan suhu memiliki relevansi terhadap climate change.
Dampak ini pastinya tidak akan hanya berdampak di daratan, tetapi bahkan juga lautan. Suhunya semakin panas, laut juga akan menyerap panas dari bumi, dan lambat laut akan membuat laut akan terasa semakin hangat, ketika suhu semakin panas di dalam laut akan memberikan dampak salah satunya adalah pemutihan karang atau dikenal dengan coral bleaching.
Coral juga sama pentingnya seperti pohon
Coral itu bukan hanya tempat hidup bagi ikan-ikan dan makhluk hidup di lautan, tetapi coral adalah bagian dari ekosistem laut.
Coral akan kehilangan warnanya, dan dapat mati ketika tidak mendapatkan lingkungan yang mendukung. Layaknya seperti kita, manusia, kita butuh lingkungan yang mendukung untuk keberlangsungan kehidupan kita.
Sama dengan coral, sebagai rumah bagi banyak ikan, dan Indonesia sebagai negara maritim akan menjadi permasalahan yang crucial jika isu laut tidak menjadi pembahasan kita, padahal banyak masyarakat pesisir yang mendapatkan penghasilan dari sana, dan bahkan menjadi tempat-tempat pariwisata yang dimana bisa berdampak pada ekonomi pariwisata dan kreatif di Indonesia.
Jika ikan-ikan mati karena laut semakin panas ataupun berkurangnya tempat tinggal mereka akibat terjadinya coral bleaching, ini dapat menjadi ancaman besar untuk Indonesia sebagai negara maritim, padahal ikan juga salah satu sumber asupan protein bagi kita, dan dampak ini bisa berkepanjangan dan tidak akan hanya memberikan dampak pada satu aspek ataupun satu sektor saja.
Movement, tidak bisa sendirian
Dari cerita mengenai permasalahan dan tantangan ini bukanlah hal yang bisa diselesaikan oleh satu orang, organisasi, komunitas, atau startup saja. Perlu ada langkah kolektif dan sistem yang terintegrasi, dan pembahasan tentang climate change, isu tentang laut harus sampai ke beragam channel, dan dapat diterima oleh semua orang agar awareness tersebar dengan merata, dan sebuah movement tidak hanya dari sektor-sektor lingkungan atau dunia tech saja, tetapi memasuki banyak ranah layaknya wellness, lari, tennis, padel yang menjadi lifestyle dan sebuah trend yang dapat dilakukan secara masif.
Perempuan di bidang yang masih didominasi oleh laki-laki
Menjadi perempuan yang masuk ke dalam dunia entrepreneurship, tech, and climate di usia 21-22 tahunnya menjadi perjalanan baru bagiku. Dunia kewirausahaan sudah aku perdalami serius sejak usiaku sekitar 15 tahun, tidak menyangkan bahwa itu 7 tahun yang lalu. Meskipun begitu, aku berterimakasih pada kedua orangtuaku, karena jiwa kewirausahaanku sudah ditanamkan oleh orangtuaku sejak kecil. Namun zaman terus berkembang, maka tidak akan pernah cukup untuk belajar dari pengalaman sebelumnya.
Perempuan di dalam peran kepemimpinan memang tidak sebanyak laki-laki, dan sebagai perempuan aku tidak berusaha menggungguli siapapun dan tidak untuk merasa lebih baik.
Ini adalah bagian dari misi hidupku yang aku rasa adalah panggilan jiwa terkhusus kecintaanku terhadap laut.
Banting setir untuk misi hidup dan panggilan hidup
Beberapa orang baru tau, kalau aku banting setir dari SMA yang fokus ke science, sempat kuliah di Kedokteran Gigi, dan sekarang mengambil Manajemen. Dari awal, aku mengambil risiko ini, mengambil yang relevan dengan purpose hidupku. Awalnya tidak semua bisa menerima keputusanku, bahkan mempertanyakan keputusan ini, tetapi aku ingin keputusan ini akan membuat di usia tuaku tersenyum bahagia mengambil keputusan berat, tidak pasti, dan berakhir pada suatu hal yang mungkin belum pernah diekspektasikan sebelumnya. Semasa tua jadi merasa tak perlu menyesali tentang keputusan dan langkah yang tidak pernah diambil.
Bicara tentang bisnis, kebanyakan dari kita dan dulu aku juga pernah beranggapan bahwa bisnis adalah tujuannya, tetapi justru bisnis adalah tools dan kendaraannya. Kendaraan untuk mencapai misi itu. Tetapi mencapai misi itu tidak bisa hanya didasari kemauan dan niat baik, semua harus dibangun dengan sistem dan strategi.
Tidak mudah, tetapi kita selalu bisa figuring out sambil berjalannya waktu dengan terus belajar, evaluasi, dan diskusi.
Bukan menunggu waktu terbaik, kondisi paling sempurna, dan hanya mempertanyakan seberapa siap kita.
Membangun tim dan ekosistem bukan hanya startup
Saat ini, aku dan tim membangun misi ini, aku mengambil tim-tim terbaik di bidangnya dan masih anak muda seperti kita sekarang. Usia bukan batasan bagiku, punya tim di atas usiaku juga tidak masalah, karena kita bisa berkolaborasi dan bertukar pikiran, selama kita punya misi dan harapan yang sama disamping dari capabilities dan experiences yang kita punya, at least kita connected dalam misi dan value yang sama.
Aku bersyukur punya tim dengan inisiatif yang tinggi, disiplin yang bagus, dan membuat mimpi ini adalah mimpi kita bersama, segala cara kita cari dan saling kita bagikan untuk menang dalam membawa misi ini. Dan kali ini aku mengambil tim-tim perempuan dari bidang tech, sustainability, marine, and marketing.
Disamping perempuan di bidang STEM dan juga bisnis sering didominasi oleh laki-laki, aku ingin mencoba membangun ekosistem di ide startup ini bahwa perempuan juga bisa kuat di peran-peran penting.
Maka dari itu, 2 concernku yang pertama adalah yang sebelumnya. Yang kedua, adalah concernku terhadap kepemimpinan perempuan khususnya di Indonesia go to Southeast Asia and to the world. Semua akan step by step InsyaAllah, aku yakin biidznillah sambil memantaskan diri sendiri untuk jadi perempuan itu, dan perlahan bisa mengajak juga memberikan tempat perempuan-perempuan untuk juga berkarya dan punya peran-peran penting dalam peran kepemimpinan.
Hidup hanya sekali, aku rasa nothing to lose.
Dream, purpose, and partner in the future
Dengan keputusan sebesar ini, setelah berbicara dengan temanku dari Bogor yang sempat ke Semarang tahun ini, yang juga seorang entrepreneur dengan ratusan ribu followers di media sosial bisnisnya, aku mendapatkan sebuah keputusan yang aku akan underlined, yaitu saat nanti aku memutuskan untuk menikah dengan seorang pria, aku ingin memastikan seseorang ini secure enough, dia juga punya karya dan suatu hal besar yang menjadi misinya, family man, tetapi akan mendukung mimpi-mimpi dan misi hidupku, menjalankan kehidupan berkeluarga dengan partnership, smart enough even more than me, karena aku pengen kehidupan ini bukan terasa kompetisi, tetapi merasa pulang dan didukung, dilihat seutuhnya sebagai seorang perempuan yang punya mimpi, sebagai partner yang dia sayang dan hargai, tetapi juga bisa kembali lay on him.
Teringat tahun lalu di Bogor masih teman yang sama. Di tahun lalu, temanku bercanda kepadaku sambil tersenyum, “Couplepreneur lah”, kata temanku untuk punya partner yang juga seorang entrepreneur dan sampai hari ini kalimat itu masih teringat di benakku.
Penutup
Pada akhirnya, hidup dengan sebuah purpose, dreams, dan misi juga membawa kita terus menjadi versi terbaik dari diri kita sendiri. Dan hidup dengan hal ini juga membuat kita feels alive, karena hidup tanpa tujuan dan mengikuti arus itu melelahkan, standar kita akan jadi ikut terus berubah tanpa tau mana yang paling cocok dan relevan untuk kita.
Dan dengan purpose inilah whatever it takes, kita punya alasan yang kuat untuk berdiri lagi dan lagi.
Salam,
Dari perempuan dan anak muda yang juga masih figuring things out. And you’re not alone. Let’s make it happen.
And to whoever reads this blog, I truly appreciate you for finishing every line here. I hope you gain some insights, a spark of inspiration, and good luck on your journey!
Hasna Hanifa,
Indonesia, 2025.























Komentar